Story on the Train



Welcome to Semarang…

Hari ini sampai tiga hari kedepan, gue dan teman – teman kelas gue ada acara di kota ini. Bisa dibilang, acara ini adalah acara yang wajib banget dihadiri oleh mahasiswa desain grafis se-Indonesia. Acaranya digelar 2 tahun sekali di kota yang berbeda. Sayang banget kan kalau dilewatin gitu aja?

Temen-temen gue yang lain berangkat dari Cirebon, sementara gue dari Jakarta. Kebetulan, saat itu gue lagi magang di kawasan Cilandak. Jadi, gue berangkat menyusul karena gak diizinin kalau lama-lama ninggalin kerjaan.

Oke, balik lagi ke permasalahan gue..

Gue kembali mengecek petunjuk jalan yang semalam dikirim Ume. Perasaan jarak antara Stasiun Poncol dengan penginapan itu deket. Keterangan sebelumnya gue baca hanya 7 menit dengan berjalan kaki. Tapi kenapa ini jalannya masih jauh ya?

Pucuk dicinta ulampun tiba. Maya nelfon, “Lu dimana? Katanya udah nyampe stasiun?”

Iya ini lagi di jalan. Bentar lagi nyampe kok.” Jawab gue.

“Gue sama Ume udah ada di depan gang deket penginapan. Kita langsung keluar pas lu bilang udah mau nyampe. Sampe kita lari dikejar anjing tau gak?!”

“Iya sori. Bentar lagi nyampe. Tunggu aja disitu ya. Hehe.” Gue menutup telfon.

Fix, gue nyasar. Dasar maps sesat L. Belum di update deh kayaknya. Tanpa nunggu lama-lama, gue langsung nyari ojek online. Gue udah gak kuat jalan lagi. Tadi malem di kereta gue gak tidur sama sekali.

Laper, ngantuk, belum sampai penginapan lagi.

Semoga, sesampainya gue di penginapan, gue bisa menemukan makanan dan secangkir kopi hangat untuk membuat gue rileks.
***
“Lemes banget lu. Gak tidur di kereta?” Tanya Ume ketika kita berjalan bertiga menuju penginapan.
Gue hanya menggeleng lemas.

“Udah Me, anak orang mau tepar. Biarin dia mandi sama istirahat dulu. Gue tau, gue faham dia lagi butuh mie sama kopi anget.” Jelas Maya.

Ughh… Perhatiannya.
***

“Jadi kenapa lu sampe gak tidur di kereta? Padahal lumayan hampir 7 jam lu bisa istirahat.” Tanya Ume ketika kita sarapan bareng di meja makan.

“Semalem gue ngobrol sama ibu-ibu yang duduk di depan gue. Dia cerita banyak. Asyik orangnya. Sampe gak kerasa udah subuh aja.” Jawab gue lalu melahap mie instan.

“Emang cerita apa aja?” Tanya Ume.



Malem itu…

Gila! Gue dikerjain sama Nanda!..

Gue mau ngapain jam 8.45 udah ada di stasiun? Kereta gue berangkatnya jam 11 malem.
Ini gara-gara Nanda. Dia bilang, gue harus berangkat jam 8 malem dari kostan. Takut macet, apalagi Jakarta. Buktinya, gue berangkat dari kostan jam 8 pas, perjalanannya 45 menit doang. Hmmzz

*maklum, gue baru banget disini, jadi belum terbiasa memperkirakan jarak dan waktu tempuh perjalanan gue ke suatu tempat.

Banyak adegan dramatis yang gue lihat selama kurang lebih 2 jam duduk di kursi depan mini market stasiun. Mulai dari ABG ngoceh di telfon gara – gara belum dijemput juga. Sampai ada adegan perpisahan yang mengharu biru antara orang tua dan anaknya yang sepertinya akan menempuh pendidikan diluar kota Jakarta.

Disini gue sedikit membuka mata. Memperhatikan setiap orang yang berlalu lalang di depan gue hingga mulai membaca karakternya. Apa yang gue lakuin itu gak penting sebenarnya, tapi gue suka. Kepribadian gue yang Introvert, cenderung lebih asyik memperhatikan daripada memulai sebuah pembicaraan dengan orang baru.

Jam 10 teng.!!

Sudah terdengar panggilan dari mbak-mbak di spiker stasiun kalau seluruh penumpang kereta jurusan Semarang sudah bisa boarding. Yeah, my journey on the train will begin. On the way gerbong 4.

Setelah mencari nomor bangku yang tertera pada kereta, gue langsung duduk. Gue sengaja memilih bangku deket jendela. Bagi gue, duduk dekat jendela itu memanjakan mata. Mata gue bisa menerawang jauh sampai ia menemukan batas pandangannya. Apalagi dalam sebuah perjalanan.

“Neng, boleh minta tolong bantu ibu angkatin tas?”

Suara seorang wanita paruh baya memecahkan lamunan gue. Wanita itu tersenyum ketika gue memandangnya. Gue bergegas membantu dia menaruh tas di bagasi atas kursi kami.

“Terimakasih neng.” Kata wanita itu. Kitapun duduk berhadapan. “Hampir aja telat.” Sambungnya.

“Iya bu. 10 menit lagi berangkat.” Gue menjawab meski singkat.

“Oh ya, neng mau kemana?” Tanyanya ramah.

“Saya mau ke Semarang, bu. Kebetulan ada acara disana.”

“Sendirian aja?”

“Iya bu. Saya berangkat sendiri dari Jakarta. Temen-temen yang lain udah duluan dari Cirebon.”

“Oh, wong Cirebon toh?” Katanya dengan bahasa jawa yang khas lalu mengundang gue untuk tertawa kecil.

“Kebetulan, saya di Jakarta sedang magang.”

“Jauh banget magangnya neng?”

“Kaprodi saya gak ngijinin magang di Cirebon bu. Katanya kurang menantang. Soalnya kan daerah sendiri.” Gue jadi inget alesan Kaprodi kesayangan rakyat DKV meminta anak-anak didiknya magang di luar daerah Cirebon.

“Ibu setuju sama kaprodi kamu. Nanti pengalaman kita juga kurang kalau Cuma di daerah sendiri.” Tuturnya.

Tak terasa, kereta kami mulai berangkat perlahan. Gue berdoa dalam hati agar diberi keselamatan dan perlindungan selama perjalanan. Gue juga melihat ibu berkerudung biru itupun melakukan hal yang sama. Bedanya, dia lebh khusyu.

Ketika ia kembali membuka matanya setelah berdoa, dia kembali tersenyum. Gue membalasnya.

Dari pandangan matanya, dia kayak memperhatikan gue. Tapi, gue gak mau ke-GR-an dulu. Barangkali, dia menemukan hal aneh yang menempel di jaket gue.

“Liat kamu, jadi inget ibu yang dulu.” Katanya membuat gue tersenyum kecil. “Dulu, waktu masih SMP-SMA, ibu juga sama kayak kamu. Kemana-mana Cuma pake kaos, celana jeans, jaket dan kerudung aja. Tas nya juga tas cowok kayak gitu.” Lanjutnya.

“Ohya bu? Soalnya ini simpel banget. Saya kalau kemana-mana ya begini aja.” Jawab gue.

“Keliatan, kamu gak mau ribet orangnya.” Dia nebak gue.

“Hihihi. Ibu bisa aja. Tapi iya sih bu. Soalnya kalau yang ribet itu bikin pusing dan kadang jadi ngerasa risih sendiri.” Gue mulai tertarik dengan obrolannya.

“Ohya, kamu di Jakarta daerah mana?” Tanyanya.

“Saya di daerah Cilandak, bu. Ibu di Jakarta daerah mana?”

“Saya daerah Jakarta Barat, Neng.”

“Ke Semarang juga? Atau kemana?”

“Ke Semarang, kebetulan beberapa bulan ini saya belum ketemu anak – anak saya di sana.” Jawab wanita yang terlihat berusia 40-an.

“Oh, kuliah ya bu anak-anaknya?” Tanya gue untuk menyambung pembicaraan.

“Mereka memang tinggal disana sama Mbah, nya. Mereka gak mau ikut saya.” Jawabnya.

“Loh kenapa, Bu?”

“Mereka tidak mau ikut saya dan ayah tirinya, Neng. Katanya mau tinggal sama Mbahnya di Semarang.”

“Oh begitu. Pantes aja, pasti ibu sering kangen sama mereka.”

Wanita itu tidak membalas kata-kata gue. Ia hanya tersenyum dan pandangannya beralih ke jendela.
Ketika itu, kereta tengah melewati hamparan lahan yang tak memiliki lampu. Entah itu pesawahan atau lahan kosong. Yang jelas, gue gak bisa melihat apa-apa selain langit dengan sedikit bintang dan bayangan tiang listrik yang terus menyambung.

Terasa sepi memang setelah pembicaraan gue dengan wanita itu terhenti. Mungkin, penumpang lain sudah mulai perjalana di alam mimpi. Termasuk seorang cowok muda yang duduk di sebelah gue.

“Dunia ini memang penuh rahasia dan kejutan, ya neng.” Kata wanita itu memulai kembali perbincangan. “Kadang, kita perlu tenaga eksrta buat ngadepinnya. Kadang juga, prediksi kita untuk esok hari suka meleset dan maksa kita buat membuat plan baru di saat injury time.” Sambungnya.

Dalem.. kata-katanya dalem banget. Hal ini buat gue gemetar seketika. Kesimpulan gue tentang wanita itu hadir sangat awal. Menurut gue, wanita itu adalah seorang ibu yang tegar, kuat dan bepengetahuan luas.

“Saya setuju sama ibu. Meskipun saya belum menempuh perjalanan sepanjang perjalanan ibu, saya sering mendengar cerita dari beberapa orang tentang kejutan-kejutan itu.” Jawab gue. Plengg kata – kata gue gak seindah dan sedalam wanita itu.

“Rencana ibu beberapa tahun lalu gagal karena suami ibu meninggal. Ketika itu, ibu harus menghidupi 2 orang anak dari penghasilan guru honorer.”

Jlebb… gue ngerasa tombak Zilong nancep di jantung gue.

Gue mulai bisa melihat matanya mulai berkaca-kaca. Meski ia segera tersenyum untuk mencegah airmatanya keluar, namun hal itu membuat wajahnya sedikit memerah.

“Waktu itu, anak ibu yang paling besar masih SMA dan yang kecil SD. Mereka terpukul banget ketika ayahnya gak ada. Mereka tau kalau mereka masih butuh sosok ayah. Ibu juga bingung harus bagaimana. Ibu juga sempet berfikir apa ibu bisa bertahan atau enggak.” Wanita itu melanjutkan ceritanya. “Untung, Mbahnya yang di Semarang ngerti posisi ibu. Mbah nya mau merawat kedua anak ibu.”

Gue bingung mau ngomong apa.

Wanita itu menghela napas. “Ibu Cuma mau nitip pesan sama anak-anak muda seperti kamu. Manfaatin waktu muda buat mencari pengalaman, mencari keahlian buat bekal ketika terdesak. Salahnya, ibu saat muda mengabaikan itu.”

Gue masih bingung mau bales apa.

Wanita itu tertawa kecil menatap gue. “Curhatan ibu terlalu jauh dari jangkauan kamu ya?” Tanyanya.

“Enggak kok bu. Cuma saya bingung mau balas apa. Soalnya saya belum pernah ngerasain gimana. Tapi ketika ibu cerita, saya seolah ada diposisi ibu.” Jawab gue.

Oh Tuhan, ini bukan pembicaraan gue banget. Tapi jujur, ini masukan dan cerita yang bermanfaat buat gue kedepannya.

“Ohya, waktu seusia kamu ibu juga sering loh ikut-ikut komunitas di Semarang.”

“Komunitas apa aja bu?”

Ia mngambil ponselnya dan menunjukkan beberapa fotonya bersama teman-temannya. “Ini komunitas SemarAngker.” Jelasnya sambil terus menunjukkan foto-fotonya. “Beberapa bulan yang lalu kita reunian dan sempet bikin acara.”

“Ibu yang mana?” Tanyaku ketika melihat foto yang isinya orang-orang berkostum hantu semua.

“Ini, yang jadi kunti.” Tunjuknya pada satu karakter Kunti yang merupakan hantu khas Indonesia.

Gue tertawa kecil. “Asyik ya bu. Kita bisa dapet banyak temen dari ikut komunitas kayak gitu.”

“Iya neng. Selagi muda,  cari temen sebanyak-banyaknya.” Pesan wanita itu.

“Sayangnya, saya gak se aktif ibu. Saya lebih pendiem bu anaknya.” Gantian deh jadi gue yang curhat.

“Gak papa, cari temen – temen yang sesuai sama kamu dan bikin amu nyaman di sekitar mereka. Jangan maksain. Daripada nanti gak sejalan.” Katanya.

“Iya, bu. Saya setuju banget. Hehe.”

“Ibu juga ketemu sama bapaknya anak-anak dikomunitas ini.”

“Wah, temen jadi demen ya bu?” Nyoba ngelawak doang sih. Dia senyum, tapi gue rasa garing deh.

“Hehe, yang namanya jodoh gak tau kita ketemu di mana.” Katanya.

“Kalo gak salah, waktu seusia kamu ibu ketemu almarhum.” Ia mengira-ngira. “Umur kamu berapa?”

“21 tahun bu.”

“Oh, dibawah kamu dikit berarti. 20 tahun ibu ketemu allmarhum. Terus 4 tahun kemudian nikah.”

“Duh senengnya dapat jodoh temen sendiri. Tapi kenapa ya bu banyak yang bilang kalo nikah sama temen sendiri tuh gak enak?” Tanya gue.

“Mmm, gak tau sih neng kalo pendapat orang lain. Cuma menurut ibu, pacaran atau nikah sama temen sendiri nilai plus nya ya kita udah saling kenal. Gak perlu waktu lama buat ngeyakinin hati kalo dia cocok atau enggak. Kita udah tau hari-harinya kayak apa, keluarganya gimana.” Jelasnya.

“Ada benernya juga sih bu. Tapi ya emang pendapat dan pengalaman orang beda-beda ya bu. Hehe.”

Sesebuah panggilan masuk diterima oleh wanita itu. sepertinya dari pihak keluarga di Semarang. Cukup lama ia menerima telfon.

Gue ngiri, ngecek ponsel juga deh. Tapi kayaknya keadaan ponsel gue dan wanita itu beda jauh deh. Kondisi ponsel gue mengenaskan banget. Cuma ada 1 chat. Itupun dari Ume yang ngirim lokasi penginapan di Semarang. Hmmzz..

Mulai ada tanda-tanda wanita itu akan mengakhiri pembicaraan di telfon. Ia kembali memegang ponselnya.

“Tadi anak yang telfon. Katanya mau dijemput jam berapa? Ibu bilang aja subuh ibu sampe stasiun.” Katanya sedikit tertawa.

“Dari subuh? Loh, kasian bu anaknya nanti nunggu lama. Hehe.”

Gak papa, dia udah gede. Harus belajar disiplin waktu.”

Setuju sih bu, tapi dari subuh sampe jam setengah 7 pagi bakal lumutan gak ya yang nungguin?

“Ibu selalu ngajarin anak-anak ibu disiplin dan ngehargain orang lain. Alhamdulillah, masih mereka jadiin kebiasaan sampe sekarang. Malah, anak ibu yang paling besar, itu ibu suruh mandiri. Meski dia masih kuliah, ibu minta dia untuk bisa bantuin Mbahnya. Jadi dia kuliah sambil kerja juga.”

“Patut dicontoh anak – anak muda sekarang ya bu. Saya jadi malu. Saya belum bisa bantu orang tua saya.”

Wanita itu tersenyum kecil. “Kakaknya begitu, adiknya juga jadi pengen ikutan. Tapi ibu larang karena dia masih kecil. Masih 12 tahun.” Katanya.

Gue dapet banyak pelajaran malem ini. Satu malem aja gue udah dapet wejangan, cerita orang lain sampai sebanyak ini. Coba aja gue lebih aktif dai sekarang, pasti pengetahuan gue bertambah. Gue jagi lebih percaya diri buat bergaul kalau pengetahuan gue luas.

Gue menengok ke arah jendela. Samar-samar terlihat hamparan sawah yang mulai menguning. Wanita itu menyadari bahwa waktu subuh sudah tiba. Ia pamit dan sempat mengajak gue shalat. Gue menolak karena memang saat itu lagi berhalangan.

Wanita itu mengambil debu untuk tayamum dan memulai shalat subuh. Gue manfaatin waktu itu untuk sejenak terlelap.

Mata gue terpejam gak bertahan lama. Sorot matahari yang mendadak menyerang kelopak mata bikin gue kaget. Gue terbangun dan melihat wanita itu sedang memainkan ponselnya. Gue mengecek ponsel hanya untuk melihat jam. Kurang lebih satu jam lagi kita akan sampai di stasiun akhir.
Gue lebih memilih melihat pemandangan diluar daripada ponsel gue yang masih saja memprihatinkan.

Saat ini, cahaya mentari sudah bersinar sempurna. Gradasi warna padi yang terhampar sangat menarik perhatian gue. Pemandangan itu seakan menyembunyikan berjuta kata yang tak bisa ia ungkapkan. Tantangan gue adalah membaca bahasa alam dan menuangkannya dalam sebuah karya tulis yang layak baca.

“Ohya, bu. Makasih ya atas wejangan ibu buat saya. Cerita semalam bikin saya lebih siap buat menghadapi hal-hal yang diluar prediksi saya.” Kata gue membuat wanita itu memalingkan pandangannya dari ponsel.

“Sama-sama. Intinya kita harus selalu siap, Neng. Apalagi perjalanan kamu masih panjang.” Ucapnya.

“Ohya, nama kamu siapa Neng? Dari semalem belum nyebutin nama.” Tanya wanita itu.

“Saya Devi bu.” Jawab Gue. Gue mencium tangannya dan berterimakasih sekali lagi padanya.

“Devi, bahasa India dari Dewi.” Katanya sambil tersenyum.

Pemberitahuan bahwa kita sudah akan sampai di stasiun akhir sudah terdengar di seluruh gerbing. Semua penumpang yang tersisa mulai mempersiapkan diri dan mengecek kembali barang-barang bawaan mereka.

Gue kembali membantu wanita itu menurunkan tasnya. Sementara cowok muda yang duduk di sebelah gue sudah hilang entah kemana. Mungkin udah turun di stasiun sebelumnya.

Kita bersiap meninggalkan bangku yang penuh dengan cerita semalam. Gue lihat wanita itu kesulitan membawa tas yang lumayan besar. Gue pun menawarkan diri untuk membantu membawakannya sampai ia bertemu orang yang menjemputnya.

“Nanti kalau ke Semarang lagi, mampir ya Dev.” Tawarnya.

“Baik bu, Insya Allah kita ketemu lagi.” Balas gue.

Sesampainya di parkiran stasiun Poncol, wanita itu mencari seseorang yang akan menjemputnya. Ia pun sempat menelfon dan menanyakan keberadaannya.

Begitu bertemu dengan yang menjemput wanita itu, ternyata….

“Mas, ini bantuin. Berat soalnya.” Kata wanita itu menyuruh ia mengambil tas bawaan yang gue bawa.

Yaampun, ini cowok ini ganteng banget ya? Tinggi, putih dan gak terlalu kurus.

Gue menyerahkan tasnya pada cowok itu. seraya tersenyum kecil.

Gue mau ngomong apa ya? Aduh gue lupa mau ngomong apa.

“Ohya mas, kenalin dulu. Ini temen ibu dari Jakarta.” Kata wanita itu menyuruh cowok itu kenalan.

“Dhimas.” Kata cowok itu ramah. Suaranya juga bikin gue gemeter.

“Devi. Salam kenal ya.” Jawab gue.

“Dhimas ini anak ibu.” Kata wanita itu. “Ohya makasih ya Dev udah bantuin ibu.” Lajutnya.

“Oh iya sama-sama bu. Makasih juga ya bu udah nemenin saya semalaman suntuk. Kalo gitu saya pamit dulu ke penginapan soalnya temen – temen yang lain udah nunggu.” Pamit gue.

“Oh iya. Hati-hati ya Dev.”

“Iya bu. Sampai ketemu lagi.” Kata gue seraya bersalaman pada wanita itu. Juga sama Dhimas.
Gue sempat tersenyum dan berbalik arah… mau nengok lagi tapi malu.

***
“Seganteng apa sih si Dhimas itu?” Tanya Maya. “Biasanya lu paling geli liat cowok putih.”
Maya dan Ume kembali bersuara setelah mendengarkan cerita gue.

“Ini beda, May. Dia tuh manis.” Kata gue.

“Terus lu minta kontaknya gak?” Tanya Ume.

Tunggu….

Jangan-jangan ini yang tadi mau gue tanyain di stasiun. Gue lupaa..

“Enggak.! Gue lupa.!” Seru gue.

Maya dan Ume mengeluh barengan.

“Bego!.”
***

Komentar

Postingan Populer