Sacrifice of Love



         Wajah lesu ditunjukan oleh seorang cowok berjaket biru dongker di sebuah meja di halaman sebuah kafe. Kebetulan, udara hari ini lebih panas dari biasanya. Hingga ia tak sadar sudah menghabiskan 2 gelas jus jeruk yang sisanya masih ada di atas meja.

            Didepannya duduk seorang cewek berambut kuncir kuda. Dengan poni sebatas alis dan sisa rambut dibawah dagu pada kedua sisi poninya. Cewek manis itu masih memandang cowok yang duduk bersamanya dengan senyuman menyebalkan.

            “Ri, udah jam berapa ini? Dia jadi dateng gak sih?” Akhirnya cowok itu bersuara setelah sekian lama terdiam.

            “Bentar lagi juga dateng, Dan. Siapa tau aja dijalan macet. Rumah dia kan jauh dari sini.” Jawab Riana pada cowok yang ada didekatnya, Dani.

            Dani dan Riana memang sedang menunggu seseorang. Yang ditunggu adalah Ibra, teman Riana yang jago desain. Dani sedang mencari desainer untuk mengonsep undangan pernikahan kakak perempuannya. Kakaknya mau undangan pernikahannya berbeda dari yang lain.

            Dua hari yang lalu Ibra janji pada Riana untuk bertemu dengannya dan Dani ditempat dan waktu yang sudah ditentukan. Namun, setelah 2 jam Riana dan Dani menunggu dari waktu janjian, Ibra belum juga menunjukan batang hidungnya.

            Dani mulai menggerutu dan tampak lesu. Masalahnya, sore ini ia dan Riana harus melatih Pencak Silat di sekolah yang menggunakan jasanya.
            “Tapi sejam lagi kan kita mau ngelatih anak-anak silat, Ri.” Kata Dani. “Kasian kan kalo mereka harus nunggu.”

            Riana mulai berpikir. “Iya juga sih.” Ia sependapat dengan Dani.

            Beberapa detik kemudian, Riana punya ide lain. “Tapi besok kan hari libur nasional, jadwalnya diubah besok aja. Gue kabarin mereka ya di grup mumpung masih ada waktu.” Riana merogoh ponsel yang tersimpan kantong sweeter hijau tua yang dipakainya. Ia menggeser-geser layar ponselnya dan kedua jempolnya mulai mengetik teks.

            “Emang mereka mau?” Tanya Dani kurang yakin.

            “Tanya aja dulu. Daripada lo pulang gak dapet konsep apa-apa soal undangan kakak lo. Kena omel lagi mampus lo.” Kata Riana ada benarnya juga.

            Kakak perempuan Dani memang sangat rewel soal waktu dan sangat disiplin. Sekalinya telat mengerjakan sesuatu, kakaknya pasti marah dan menggerutu gak abis-abis.

            Beberapa saat kemudian, ponsel Riana mulai ramai dengan balasan dari anak-anak eskul pencak silat. Riana buru-buru mengeceknya. Wajahnya terlihat sumeringah.

            “Nah kan gue bilang juga apa. Mereka mau aja tuh.” Riana menunjukan isi balasan di grup pencak silat.

            “Iya-iya.” Akhirnya Dani mengalah.

         Dani tetap memusatkan matanya pada Riana yang masih bermain ponsel untuk membalas chat-chat yang masuk.

            “Gue tau, lo pasti ada udang dibalik bakwan!” Celetuk Dani.
            Riana sontak menoleh dengan mengerutkan dahi. “Apaan sih?”

            “Iya lo manfaatin kesempatan buat ketemu sama Ibra kan? Secara semenjak lulus, lo gak pernah ketemu lagi kan sama dia?” Dani menebak-nebak.

            Riana menoleh ke arah Dani untuk yang kedua kalinya. Kali ini, ekspresi wajah Riana mendadak cerah. Ia tersenyum sendiri ketika mendengar kalimat yang barusan diucapkan Dani. “Lo tau aja sih?” Ujar Riana dengan nada ganjen sambil tangan kirinya memegang lengan kanan Dani. Dani hanya bisa memutar bola matanya.

            Beberapa saat kemudian, ponsel Riana berdering panjang. Terlihat di layar ponsel Riana sebuah kontak bernama Ibra memanggilnya.
            “Eh ini dia nelfon.” Kata Riana dan langsung mengangkatnya.

            “Halo, Ibra lo dima…….” Riana memotong kalimatnya. Ia mendengar suara tak beraturan di sambungan telefon itu. Samar-samar ia mendengar suara Ibra yang berusaha agar Riana tetap mendengar suaranya.

            “Ibra?? Lo…..” Lagi-lagi Riana tak menyelesaikan ucapannya.

            Riana menoleh ke arah Dani dengan heran. Dani mengirim kode pada Riana agar ia me-loadspeaker panggilannya. Riana menurut. Kini Dani juga bisa mendengar sambungan telepon tersebut.

            “Ri… gu.. gue gak bisa sekarang ketemu lo.” Kini suara Ibra bisa didengar Riana dan Dani meski suara Ibra hampir tenggelam dengan suara yang tak beraturan itu.

            “Ibra, lo baik-baik aja kan?” Tanya Riana yang mulai cemas setelah mendengar suara Ibra yang terdengar ngos-ngosan.

            “Pokoknya….. gue gak bisa hari ini….. ketemu lo..”

            “Ada yang gak beres kan sama lo sekarang? Lo kenapa?”

            “Gue… lagi ada urusan dulu.” Jawab Ibra dari sebrang sambungan telepon sana.

            “Pokoknya, sekarang lo sharelock ke gue. Gue mau nyamperin lo.!” Kata Riana.

            “Gak usah Ri. Gue bisa sendiri.” Tolak Ibra.

            “Gue tau lo lagi ada masalah. Mendingan sekarang lo sharelock ke gue. Gue nanti kesana.”
            “Oke…”

            Riana segera mengakhiri percakapan itu.

            “Dan, ini gimana? Feeling gue ada hal yang gak beres terjadi sama Ibra sekarang.” Riana mulai khawatir.

            “Lo tenang dulu, Ri. Kita kesana setelah lo dapet lokasi keberadaan Ibra.” Jawab Dani mencoba menenangkan Riana.

            “Yaudah mending sekarang kita siap-siap aja dulu.” Riana langsung mengaitkan tas selempangnya ke bahunya. Ia berlari duluan menuju parkiran motor kafe tersebut. Dani menyusul setelah mendapatkan kunci motor yang ia ambil di saku celananya.
***

            Riana terus mengecek aplikasi chatting yang ada di ponselnya. Sementara Dani menunggu arahan dari Riana untuk pergi kemana.

            “Dan, mending kita cari bantuan dulu sebelum nyamperin Ibra. Sekalian kita nunggu dia shareloc.” Kata Riana ke samping kanan Dani yang sedang menyetir.

            Dani membuka kaca helmnya. “Lo yakin?”

            “Yakin!” Jawabnya mantap. “Gue yakin kalo Ibra sekarang lagi dalam bahaya.”

            Dani langsung memacu kuda besinya lebih kencang untuk mencari bantuan.
***

            Satu jam kemudian, Riana dan Dani sampai di sebuah tempat yang menjadi titik akhir petunjuk tempat yang dikirimkan Ibra pada Riana. Mereka sedang berada di sebuah bangunan stadion yang setengah jadi namun terbengkalai. Rerumputan panjang tumbuh disekitar stadion tersebut.

            Riana memastikan kembali titik pemberhentian pada petunjuk arah di ponselnya. Ia berada tepat pada titik tersebut. Kemudian, pandangan Riana dan Dani bertemu.

            “Ibraaa….!!” Seru Riana sambil mencari keberadaan Ibra. Dani mengikuti di belakang Riana sambil berlaku waspada pada sekitarnya.

            Riana dan Dani semakin masuk ke area stadion yang terbengkalai itu. Riana masih menunggu jawaban Ibra dari teriakannya.

            Bukan Ibra yang muncul, melainkan 3 orang asing yang datang kedepan Riana dan Dani. Ketiga cowok itu muncul dengan wajah yang meyebalkan.
            “Kalian mau cari Ibra?” Tanya cowok berambut kribo sambil melangkah maju mendekat ke arah Riana dan Dani.

            “Kalian siapa?” Tanya Dani.

            “Gak penting lo berdua tau siapa kita. Yang jelas yang kalian cari gak ada disini!” Jawab cowok yang agak berisi dengan tampang bringasnya.

            “Apa urusannya Ibra sama kalian?!” Riana mulai mengeluarkan kata.

            “Urusan Ibra sama kita, bukan urusan lo.” Kata cowok jangkung yang berdiri disamping cowok berisi itu.

            “Kalo lo mau ada urusan sama kita, kita ladenin. Gimana kalo lo jadi pacar gue?” Kata cowok berambut kribo itu mulai mendekat ke Riana dan berusaha menyentuhnya.

            Kaki Dani reflek menghantam lengan kiri cowok kribo yang hampir saja menyentuh bahu Riana. “Jangan kurang ajar.!”

            “Ohh nantangin lo.!” Si cowok kribo mulai mengepalkan tangannya dan berusaha menonjok Dani.

            Giliran tangan Riana yang refleks menahan tangan si kribo. Riana menendang perut si kribo dengan tempurung kakinya hingga si kribo tergusur ke belakang.

            “Kurang ajar.!” Ketiga bandit itu marah dan mulai menyerang Riana dan Dani.

            Bermodalkan jurus bela diri yang mereka miliki, mereka melawan 3 bandit menyebalkan yang menghalangi langkah Riana untuk mencari Ibra.

            Keberanian Riana dan Dani masih cukup untuk melawan tiga bandit itu meskipun kalah jumlah.

            Mereka bisa membuat ketiganya tersungkur diantara rerumputan panjang dan tak sanggup bangun untuk waktu yang singkat.

            Berhasil mengatasi bandit menyebalkan itu, mereka yakin masih ada beberapa lapis bandit yang ada ditempat ini. Mereka berdua harus ekstra hati-hati karena mereka hanya akan menghadapi para penjahat itu berdua.

            Mereka mulai menaiki tangga ke lantai pertama. Riana memutar badannya untuk mengawasi dan memastikan keadaan sekitar. Ia tak kunjung menemukan Ibra disana. Lalu ia dan Dani mulai naik ke lantai dua.

            Dari ujunng tangga paling atas, Riana mendengar ada sebuah pergerakan. Ia yakin bahwa ada orang disana. Mereka berlindung dibalik sebuah tembok besar di ruangan tersebut untuk menutupi keberadaan mereka.

            Sebelah mata Riana terus mengawasi ke arah sumber suara yang ia dengar. Benar saja, sekitar 15 meter dari jaraknya, ada seseorang yang sedang berlutut sambil dikelilingi beberapa orang. Mata Riana semakin tajam dan berusaha menembus celah diantara orang-orang itu untuk mengetahui siapa yang sedang mereka ‘pojokan’.

            Seorang cowok berjaket levis abu tepuruk didepan orang-orang yang mengelilinginya. Dari baju dan ciri-cirinya, Riana sudah dapat memastikan kalau dia adalah Ibra.

            Reflek Riana keluar dari persembunyiannya dan hampir menghampiri perkumpulan orang tersebut. “Ib….”

            Tangan Dani bergerak lebih cepat. Telapak tangan kirinya segera menutup mulut Riana dan menariknya kembali mundur. Tangan kanan Dani kini melintang di depan leher Riana dengan maksud mencegahnya bergerak nekat.

         “Itu Ib…” Riana untuk kesekian kalinya memotong kalimatnya setelah Dani menempelkan jari telunjuknya di mulut Riana.

            Dani masih menatap Riana yang terlihat sangat khawatir pada Ibra. “Ada saatnya kita maju, ada saatnya kita diam untuk mengawasi keadaan.” Ucapan Dani sedikit menenangkan Riana.

            “Kalo lo terus emosi dan khawatir kayak gini, gue yakin kita gak akan selamat.” Lanjut Dani. “Tahan emosi lo, kurangi rasa khawatir lo. Pikirin juga diri lo sendiri.”

        Dani berhasil membuat Riana tenang sejenak. Riana menatap Dani yang juga menatapnya. Dani menangkap kode dari tatapan mata Riana bahwa ia meminta tolong padanya. Dani menjawabnya lewat tatapan teduh seakan ia ingin mengatakan “Bukan hanya menolong, gue juga akan melindungi lo.”

            Terdengar suara tapakan kaki dari arah tangga menuju lantai kedua. Dani bergegas menarik Riana memutar ke sisi tembok yang lain.

            Disaat yang sama, Dani menyadari sebuah kepalan tangan hampir menyentuh hidungnya. Ia reflek menahan kepalan tangan itu dengan jari-jari tangan kanannya. Tangan kirinya mendorong Riana menjauh darinya.

            Riana tergusur ke belakang tanpa terjatuh. Ia hanya merasakan sedikit sakit di bahu kanannya akibat dorongan Dani.

            Tiga bandit yang menghalangi mereka kini kembali ada di hadapan mereka. Riana bersiap untuk kembali bertarung dengan mereka. Sementara Dani berhasil membuat orang yang hampir membuat hidungnya berdarah itu tesungkur.

            Dani langsung mendekati Riana untuk membantunya melawan para pengacau ini. Perkelahian kedua berlangsung di lantai dua hingga mengalihkan perhatian orang-orang yang sedang mengepung Ibra tadi.

            Seorang cowok yang tampak paling menonjol berbalik arah dan menatap geram Riana dan Dani. Cowok tinggi besar dengan jaket kulit hitam yang menambah kesan bringas. Alis matanya lebat hingga membuat tatapannya lebih seram saat melotot.

     Sementara Riana dan Dani masih berusaha mengalahkan tiga orang yang tadi menghalangi jalan mereka. Tak lama kemudian ketiganya tersungkur.

            “Ngapain mereka kesini?!” Tanya cowok itu dengan suara yang keras. Sepertinya semua orang yang ada disana tunduk pada cowok itu kecuali Dani dan Riana.

            “Mereka yang mencari Ibra, Yog.” Jawab cowok tadi mau menghantam hidung Dani.

            Ibra menoleh pada yang datang.

            “Ri….!!” Panggil Ibra.

            “Ibra.!!”

            “Kalian mau bawa pulang Ibra? Sini buat gue tersungkur baru kalian bebas membawa Ibra dan cewek yang ada di ruangan sana!” Kata Yoga, orang yang paling ditakuti oleh sebagian besar orang disana.

            Riana menatap Ibra yang seakan tak berdaya dengan beberapa luka memar di wajahnya. Bahkan sudut bibir kirinya masih ada darah kering. Riana mengerti, Ibra sudah tidak kuat berdiri.
            Pandangan Riana beralih pada Yoga. Cowok itu masih saja bertingkah dan merasa paling hebat sendiri.

            Yoga berjalan menghampiri Riana dan Dani. Ia lebih merapatkan diri pada Riana. Riana mendongkak menatap mata Yoga dengan tatapan marah.

            “Gue suka cewek pemberani kayak lo.!” Kata Yoga membuka kata di depan Riana.          

            “Sayangnya, cowok yang lo suka lebih milih ceweknya yang sekarang ada di tangan gue.!” Kata Yoga licik dan mengangkat sebelah sudut bibirnya.

            Riana mulai menyadari kalau Ibra bisa masuk kedalam keadaan bahaya seperti ini hanya untuk menyelamatkan Tiwi, pacarnya.

            Setahu Riana, Yoga adalah mantan pacar Tiwi yang sangat possesive dan tempramen. Yoga hampir bunuh diri ketika Tiwi memutuskan hubungan dengannya.

            Kali ini niat jahat Yoga sudah keluar batas. Yoga menyekap Tiwi dan menjadikannya sebagai umpan agar Ibra datang menyelamatkan Tiwi. Kesempatan ini Yoga manfaatkan untuk menghabisi Ibra.

            “Lo akan menerima ganjaran atas semua yang lo lakukan hari ini, Yoga.” Kata Riana dengan nada tegas.

            “Gue gak takut! Karena kalian udah berani masuk kesini, peluang kalian untuk bisa pulang sangat kecil.!” Ujar Yoga.

            Yoga mulai menatap nakal Riana yang sekarang penampilannya sudah tak karuan lagi. Rambut panjang Riana sudah berantakan akibat perkelahian mereka.

            “Kecuali, lo mau gantiin posisi Tiwi duduk disekapan sana.!” Yoga menunjuk sebuah ruangan yang kemungkinan ada Tiwi didalamnya. Yoga kemudian mencoba untuk menyentuh dagu Riana.

            Dani dengan cepat menepis tangan Yoga dan akhirnya terjadi perkelahian selanjutnya. Dani mampu melawan beberapa orang sekaligus. Sementara Riana melawan sisanya.

            Mata Ibra berkaca-kaca melihat pengorbanan Riana dan Dani hari ini. Apa daya, ia hanya bisa menahan rasa sesak di dadanya ditambah rasa ingin menangis yang semakin menghujam dada.

            Riana yang menghadapi tiga orang berhasil membuat lawan-lawannya tersungkur ke lantai berpasir dan kasar.

            Sementara Dani masih dalam perkelahian bersama Yoga setelah semua anak buahnya tersungkur tak berdaya di sekitarnya.

            Kini giliran Riana yang membantu Dani. Riana dengan sigap menendang lutut Yoga dari belakang dan Dani mendaratkan pukulan di pipi kanan Yoga sebagai hantaman terakhir sebelum Yoga ikut tersungkur seperti yang lain.

            Dani langsung meraih kedua pundak Riana dan memastikan kalau tidak ada luka pada Riana.

            “Lo gapapa kan? Ada yang luka?” Tanya Dani sambil memperhatikan Riana.

            Riana hanya menggeleng sebagai jawaban. Ia kemudian teringat Ibra beberapa detik kemudian. Ia menoleh ke arah Ibra dan menepuk kecil lengan kiri Dani. Ia menghampiri Ibra begitu juga Dani.

            “Ibra.!” Seru Riana. Ia semakin merasa khawatir saat mendengar Ibra terbatuk-batuk akibat sesak di dadanya.

            “Ri, lo lepasin Tiwi dulu.” Pinta Dani yang membantu Ibra berdiri.

            Riana bergegas menuju satu ruangan yang ada didekatnya. Ia membulatkan mata ketika melihat ada seorang cewek yang duduk terikat disebuah kursi kayu dengan mulut yang tersumpal kain.

            “Tiwi.!” Seru Riana segera melepaskan tali yang mengikat Tiwi dan membuka ikatan di mulutnya.

            “Riana.! Gue takut.!!” Ujar Tiwi yang langsung memeluk Riana, cewek yang posturnya lebih mungil darinya.

            Riana mengusap punggung Tiwi yang tengah erat memeluknya sambil terisak. “Lo tenang aja. Jangan takut lagi karena lo dan Ibra udah aman.” Kata Riana menenangkan dengan suara yang amat lembut. Kemudian Riana menuntun Tiwi keluar dari ruang penyekapan untuk bertemu Ibra.

            Kini Tiwi dan Ibra berhadapan dan memeluk erat satu sama lain. Momen ini menjadi perhatian Riana. Ia hampir menjatuhkan air mata ketika melihat Ibra dan Tiwi berpelukan. Riana menangkap suatu makna, sayang dan cinta Ibra begitu besar untuk Tiwi. Ibra rela ikut terjebak dalam keadaan bahaya untuk menyelamatkan Tiwi.

            Jahat memang jika Riana tetap ingin memperjuangkan Ibra. Dalam otaknya, akan ada dua orang bahkan lebih yang terluka jika ia tunduk pada ego sendiri. Ia hanya ingin hari ini dikenang oleh Ibra selamanya.

            Dani mengerti dan ikut merasakan sesak yang dirasakan Riana. Apalagi raut wajah cewek itu sudah 100% lelah dan sedih dengan kejadian ini. Dani tidak bisa berbuat apa-apa selain menatap Riana yang masih memperhatikan sepasang kekasih yang tengah berpelukan merayakan kebebasan mereka dari jeratan Yoga.

            Tak ingin sesak terlalu lama, Riana memilih pergi. Ia menaiki tangga untuk menuju ke tribun penonton. Pemandangannya sungguh berbanding terbalik dengan suasana hati Riana saat ini.

            Pemandangan senja di titik paling atas tribun yang berhadapan langsung dengan view sunset, sejenak menenangkan hati Riana. Ia ikut tersenyum jika percikan ingatan kejadian hari ini mendadak terlintas diotaknya. Lucu, menegangkan, menyenangkan, sekaligus membuka matanya tentang arti cinta sejati.

            Tak lama kemudian Dani muncul di belakangnya. Masih terlihat sisa-sisa keringat di keningnya. Cowok itu berdiri di samping kanan Riana dan ikut menikmati matahari yang sebentar lagi tenggelam.

            “Semuanya udah diberesin sama polisi.” Kata Dani membuka kata.

            “Syukurlah. Lebih cepat lebih baik.” Jawab Riana yang matanya masih tertuju pada pemandangan matahari terbenam.

            “Apa yang lo dapat hari ini?” Tanya Dani

            Riana menghela nafas. “Sebuah arti dari cinta sejati.” Jawabnya. “Dimana mereka membuka mata gue bahwa cinta gak pandang bahaya. Dia sadar kalau menyelamatkan pasangannya adalah sebuah kewajiban. Dan itu yang dia lakukan.”

            Dani tersenyum saat mendengar kalimat yang baru Riana utarakan. Mereka diam untuk beberapa detik.

            “Dan lo tau, kalimat lo tadi juga berlaku buat gue.” Ucap Dani.
            Riana yang mendengar itu kemudian mencerna kata-kata Dani. Matanya menoleh ke bawah kemudian beralih ke arah Dani yang kemudian menyuguhkannya dengan satu senyuman.

            Mau tak mau, hati Riana akhirnya tersentuh. Meskipun ia hanya berasumsi, namun ia mengerti apa maksud dari Dani membalas kalimatnya.

            Riana hanya terdiam. Mungkin, lembayung akan membantu menemukan jawaban untuk Riana lewat bisikan angin. Dan angin berpesan untuk Riana segera membuka pintu hatinya, karena saat ini sudah ada yang mengetuknya yaitu Dani.

--- Tamat ---

Komentar

Postingan Populer